pyk

Artikel

Nov08

MEMPERSIAPKAN PELAKSANAAN PIDANA PELAYANAN MASYARAKAT SERTA PIDANA KERJA SOSIAL BERDASARKAN SPPA DAN KUHP BARU

Categories // Artikel

Saat ini, tujuan pemidanaan di Indonesia tidak lagi menganut teori pembalasan yang menitikberatkan bahwa setiap kejahatan harus berakibat dengan dijatuhkannya pidana dalam artian berupa nestapa kepada pelakunya. Hal tersebut, terlihat dari perubahan sistem penerapan pidana yang dianut dalam beberapa undang-undang khususnya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru). Sebelumnya di dalam KUHP lama, sistem pemidanaan yang dianut adalah single track system atau hanya menerapkan pidana saja terhadap tindak pidana yang dilakukan. Namun, dalam perkembangannya terdapat beberapa undang-undang pidana yang telah menerapkan double track system bagi pelaku tindak pidana. Undang-undang yang telah menerapkan double track system salah satunya adalah Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Selain telah menerapkan double track system, dalam Undang-undang SPPA juga memberlakukan pidana pokok yang berbeda dari jenis-jenis pidana yang tercantum di dalam Pasal 10 KUHP lama. Berdasarkan Pasal 10 KUHP lama, sanksi pidana di Indonesia terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dimana Pidana pokok hanya berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sementara pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Kemudian untuk pidana penjara terdapat dua jenis pidana penjara yakni pidana waktu tertentu yang tidak boleh melebihi dari 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara seumur hidup.

Sementara, di dalam Pasal 71 ayat (1) dan (2) Undang-undang SPPA menyatakan pidana pokok bagi Anak terdiri atas a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: (1. pembinaan di luar lembaga, 2. pelayanan masyarakat, 3. Pengawasan); c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara. Adanya tambahan beberapa jenis pidana ini, telah cukup menggambarkan berubahnya tujuan dari pemidanaan di Indonesia, yang semula didasarkan pada teori pembalasan.

Selanjutnya, khusus untuk pidana pokok huruf b yaitu pidana dengan syarat berupa pelayanan masyarakat, telah dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 76 ayat (1) yang menyatakan, “Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana yang dimaksudkan untuk mendidik Anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif”. Dalam penjelasan Pasal 76 tersebut, yang dimaksud dengan pelayanan masyarakat adalah kegiatan membantu pekerjaan di lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial. Bentuk pelayanan masyarakat yang dimaksud, diantaranya membantu lansia, orang cacat, atau anak yatim piatu di panti dan membantu administrasi ringan di kantor kelurahan.

Selain Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), KUHP baru yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 6 Desember 2022 telah juga menambahkan jenis-jenis pidana pokok yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP lama. Dalam Pasal 64 dan 65 KUHP baru menyatakan:

Pasal 64
Pidana terdiri atas:
     a. pidana pokok;
     b. pidana tambahan; dan
     c. pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.

Pasal 65
(1) Pidana Pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas:
     a. pidana penjara;
     b. pidana tutupan;
     c. pidana pengawasan;
     d. pidana denda; dan
     e. pidana kerja sosial

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau ringannya pidana.

Kemudian pada bagian penjelasan Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) KUHP menyatakan:

Ayat (1)
"Ketentuan ini memuat jenis-jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Ancaman pidana pokok terhadap Tindak Pidana yang dirumuskan dalam Buku Kedua pada dasarnya meliputi jenis pidana penjara dan pidana denda. Pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada dasarnya merupakan suatu model pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara. Dicantumkannya jenis pidana ini merupakan konsekuensi diterimanya hukum pidana yang memperhatikan keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan keadaan pelaku Tindak Pidana (daaddaderstrafrecht) untuk mengembangkan alternatif selain pidana penjara. Melalui penjatuhan jenis pidana ini, terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah dan masyarakat pun dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, misalnya penjatuhan pidana berupa pidana kerja sosial."

Ayat (2)
“Pada dasarnya hakim mempunyai pilihan untuk menjatuhkan salah satu pidana yang bersifat alternatif, tapi dalam melakukan pilihan tersebut hakim senantiasa berorientasi pada tujuan pemidanaan, dengan mendahulukan atau mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan jika hal tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan.”

Berdasarkan hal tersebut, pada bagian pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang akan dijatuhkan oleh hakim sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana itu terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah. Demikian pula, masyarakat pun dapat berinteraksi sekaligus berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal yang bermanfaat.

Selanjutnya, pada Pasal 65 ayat (1) huruf e KUHP baru tersebut, ada jenis pidana pokok baru yang tidak ada dalam KUHP lama yaitu pidana kerja sosial. Kemudian Pasal 85 ayat (1) KUHP baru menyatakan Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan, “Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”. Pasal 85 Ayat (1) KUHP terbaru menjelaskan, “Pidana kerja sosial dapat diterapkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan denda yang ringan. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilakukan di rumah sakit, rumah panti asuhan, panti lansia, sekolah, atau lembaga-lembaga sosial lainnya, dengan sebanyak mungkin disesuaikan dengan profesi terpidana”

Berdasarkan hal tersebut ada persamaan antara pidana pelayanan masyarakat pada Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 2 Undang-undang SPPA dengan pidana kerja sosial pada Pasal 65 ayat (1) huruf e KUHP baru. Keduanya menjadi alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan atau pidana badan jangka pendek yang dijatuhkan oleh Hakim. Tentunya hal ini dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan modern yang saat ini mulai dianut oleh Indonesia. Sehingga, penjatuhan pidana pelayanan masyarakat dan pidana kerja sosial, dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan tujuan, agar Terpidana atau anak yang berkonflik dengan hukum setelah menjalani pidananya dapat kembali kembali ke masyarakat dengan keadaan yang lebih baik dan diharapkan tidak mengulangi lagi tindak pidananya tersebut. Sementara itu, diharapkan pula masyarakat dapat menjadikan hal tersebut sebagai contoh agar tidak melakukan tindak pidana dan dapat kembali menerima Terpidana atau anak yang berkonflik dengan hukum.

Namun, penjatuhan kedua jenis pidana tersebut oleh Hakim, tidak akan mencapai tujuan apabila putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena alasan teknis berupa ketidaksiapan sarana dan prasarana. Dengan kata lain, dukungan maksimal dari berbagai stakeholder sangat dibutuhkan agar pidana pelayanan masyarakat dan pidana kerja sosial dapat terlaksana. Salah satu hal yang dapat membantu terlaksananya pidana tersebut adalah Negara yang dalam hal ini pemerintah pusat atau daerah dalam mempersiapkan segala teknis terkait. Tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Negara baik pemerintah pusat maupun daerah agar kedua jenis pidana ini dapat dilaksanakan demi tercapainya tujuan pemidanaan sebagaimana terkandung di dalam undang-undang.

Pemerintah pusat maupun daerah dapat melakukan salah satu upaya, yakni pembuatan sistem kerja berupa program dan koordinasi antar instansi. Menurut penjelasan Pasal 76 undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sebagaimana telah diuraikan bahwasanya bentuk pelayanan masyarakat misalnya membantu lansia, orang cacat, atau anak yatim piatu di panti dan membantu administrasi ringan di kantor kelurahan. Selain itu, berdasarkan penjelasan Pasal 85 Ayat (1) KUHP baru sebagaimana telah diuraikan yang pada pokoknya menyatakan pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilakukan di rumah sakit, rumah panti asuhan, panti lansia, sekolah, atau lembaga-lembaga sosial lainnya, dengan sebanyak mungkin disesuaikan dengan profesi terpidana.

Pemerintah pusat atau daerah dalam hal ini harus dapat mengkoordinasikan antara instansi atau lembaga tempat pelaksanaan pidana pelayanan masyarakat dan pidana kerja sosial tersebut dengan lembaga penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta Lapas terkait dengan pelaksanaan pidana. Pemerintah juga dapat membuat program bagi instansi atau lembaga agar dapat atau mewajibkan tempat-tempat tersebut menerima terpidana dalam rangka melaksanakan pidana pelayanan masyarakat dan pidana kerja sosial.

Selanjutnya, Pemerintah pusat atau daerah dapat memberikan sarana dan prasarana kepada lembaga, instansi, dinas terkait agar pelaksanaan pidana pelayanan masyarakat dan pidana kerja sosial dapat dijalankan dengan semaksimal mungkin. Khusus untuk fungsi koordinasi, Pemerintah pusat atau daerah dapat menunjuk dan/atau menetapkan salah satu dinas sebagai koordinator pelaksanaan pidana pelayanan masyarakat dan pidana kerja sosial misalnya Dinas Sosial. Hal ini dikarenakan Dinas Sosial memiliki hubungan cukup dekat dengan instansi atau lembaga pelaksana dari pidana pelayanan masyarakat dan pidana kerja sosial seperti rumah panti asuhan, panti lansia, sekolah, kelurahan, atau lembaga-lembaga sosial lainnya. Selain itu, fenomena kejahatan dan pelanggaran ini erat kaitannya dengan masalah sosial.

Adanya keterlibatan Negara dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah tidak lain adalah agar pidana pelayanan masyarakat dan pidana kerja sosial yang dijatuhkan kepada terpidana dapat terlaksana dengan baik. Tentunya hal ini dilakukan agar tujuan pemidanaan di Indonesia yang sedang beralih dari retributive menjadi restorative dapat terwujud dengan baik pula. (Muhammad Rizky Subardy, S.H.  Hakim Pengadilan Negeri Payakumbuh)***

Jun17

8 Nilai Utama Mahkamah Agung RI

Categories // Artikel

 1.KEMANDIRIAN

Kemandirian Kekuasaan Kehakiman (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). Kemandirian Institusional: Badan Peradilan adalah lembaga mandiri dan harus bebas dari intervensi oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Kemandirian Fungsional: Setiap hakim wajib menjaga kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Artinya, seorang hakim dalam memutus perkara harus didasarkan pada fakta dan dasar Hukum yang diketahuinya, serta bebas dari pengaruh, tekanan, atau ancaman, baik langsung ataupun tak langsung, dari manapun dan dengan alasan apapun juga.

2.INTEGRITAS

Integritas dan kejujuran (Pasal 24A ayat (2) UUD 1945; Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman) Perilaku Hakim harus dapat menjadi teladan bagi Masyarakatnya. Perilaku Hakim yang Jujur dan Adil dalam menjalankan tugasnya, akan menumbuhkan kepercayaan Masyarakat akan Kredibilitas Putusan yang kemudian dibuatnya. Integritas dan Kejujuran harus menjiwai pelaksanaan Tugas Aparatur Peradilan.

3.KEJUJURAN

Kejujuran Atau jujur artinya apa-apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Sikap jujur itu perlu di pelajari oleh setiap orang, karena kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan menuntut kemuliaan abadi, jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati

4.AKUNTABILITAS

Akuntabilitas (Pasal 52 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Hakim harus mampu melaksanakan tugasnya menjalankan kekuasaan kehakiman dengan profesional dan penuh Tanggung Jawab. Hal ini antara lain diwujudkan dengan memperlakukan pihak-pihak yang berPerkara secara profesional, membuat putusan yang didasari dengan dasar alasan yang memadai, serta usaha untuk selalu mengikuti perkembangan masalah-masalah Hukum aktual. Begitu pula halnya dengan aparatur Peradilan, tugas-tugas yang diemban juga harus dilaksanakan dengan penuh Tanggung Jawab dan Profesional.

5.RESPONSIBLITAS

Responsibilitas (Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Badan Peradilan harus tanggap atas kebutuhan Pencari Keadilan, serta berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat mencapai Peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Selain itu, Hakim juga harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang hidup dalam Masyarakat.

6.KETERBUKAAN

Keterbukaan (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Pasal 13 dan Pasal 52 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Salah satu upaya Badan Peradilan untuk menjamin adanya perlakuan sama di hadapan Hukum, perlindungan Hukum, serta kepastian Hukum yang adil, adalah dengan memberikan akses kepada Masyarakat untuk memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan penanganan suatu Perkara dan kejelasan mengenai Hukum yang berlaku dan penerapannya di Indonesia.

7.KETIDAKBERPIHAKAN

Ketidakberpihakan (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Ketidakberpihakan merupakan syarat utama terselenggaranya proses Peradilan yang Jujur dan Adil, serta dihasilkannya suatu putusan yang mempertimbangkan Pendapat/ Kepentingan para pihak terkait. Untuk itu, Aparatur Peradilam harus tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang berPerkara.

8.Perlakuan yang sama di hadapan Hukum

Perlakuan yang sama di hadapan Hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 52 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Setiap Warga Negara, khususnya Pencari Keadilan, berhak mendapat perlakuan yang sama dari Badan Peradilan untuk mendapat Pengakuan, Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil serta perlakuan yang sama di hadapan Hukum.